Skip to main content

Keutamaan Melayani Jamaah Haji

By March 8, 2014Hikmah

Melayani jamaah haji bersifat universal, mulai melayani ibadah, transportasi, akomodasi hingga urusan kesehatan dan urusan makan dan minum . Bahkan, setiap usaha memudahkan urusan jamaah haji, merupakan akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah Swt. Melayani jammah haji dan umrah sepenuh hati, sama dengan melayani tamu Allah Swt. Siapa yang melayani mereka, berarti telah memulyakan Allah Swt. Secara khusus, Nabi Saw menyebutkan bahwa jamaah haji dan umrah adalah duta Allah Swt. Betapa mulia sebutan ini, sehingga orang-orang terdahulu berlomba-lomba memberikan pelayanan khusus kepada setiap jamaah haji yang datang.

Secara khusus, Imam Bukhori membahas tentang memberikan pelayanan minum (siqoyata al-Hajj) kepada tamu-tamu Allah Swt. Hal ini tidak lepaas dari pernyataan Nabi Saw yang artinya:’’ jamaah haji dan umrah adalah duta Allah Swt, jika mereka meminta dikabulkan, jika mereka berdoa di penuhi, jika mereka memohon ampun akan diampuni’’. Dan, secekil apapun uang yang dikeluarkan oleh setiap jamaah haji akan dilipat gandakan menjadi 700 dirham. Begitu istimewa posisi jamaah haji di sisi Allah Swt, sehingga Nabi Saw sendiri pernah turun tangan untuk melayani jamaah haji.
Di dalam hadis shohih diterangkan, bahwa Abas ibn Abd Muttolib ra memohon ijin kepada Nabi Saw untuk memberikan pelayanan (siqoyata al-Hajj). Nabi Saw tidak keberatan, padahan waktu itu adalah hari tasrik, dimana setiap jamaah haji diharuskan nginap (mabit) di Mina.
Dari Ibu Umar ra, beliau mengatakan:’’ Al-Abbas Ibn Abd Muttolib memohon ijin kepada Nabi Saw agar diperkenankan menginap di Makkah beberapa hari pada hari mina (Ayyamu Tasrik), hanya semata-mata memberikan pelayanan terhadap jamaah haji, kemudian Nabi Saw mengijinkannya.
Nabi Ibrahim AS. adalah hamba Allah yang mendapatkan amanah membangun dan merawat Baitullah bersama Ismail AS., putra beliau. Dengan bimbingan langsung malaikat Jibril AS., keduanya membangun Ka’bah sampai berdiri kokoh di atas pondasi yang telah ditentukan. Lalu Nabi Ibrahim juga mendo’akan keturunannya serta memanggil orang-orang mukmin agar senantiasa menjalankan perintah-Nya (shalat). Do’a ini diabadikan dalam al-Qur’an dan hadits-hadis shahih.
Nabi Ibrahim juga mendo’akan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk datang ke Makkah. Allah mengabulkan do’a Nabi Ibrahim, dimana umat Muhammad berbondong-bondong dari negeri yang sangat jauh untuk menunaikan ibadah Haji ke Baitullah. Perjuangan Ibrahim dan Ismail serta do’anya ternyata baru terlihat sekarang ini. semua umat Islam kembali mengulang sejarahnya serta meyaksikan kebesaran Allah SWT. Tidak satupun tempat bersejarah terlewatkan oleh jama’ah haji. Mereka bisa melihat dan mengetahui tempat-tempat bersejarah, baik yang terkait dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Muhammad, yang kesemuanya bisa menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Adapun di zaman jahiliyah (sebelum Nabi dilahirkan), Baitullah juga menjadi tempat ibadah yang istimewa bagi orang-orang yang menyembah berhala. Masing-masing kelompok dan kabilah membuat tuhan (patung) sendiri. Ada 360 jenis berhala-berhala, gambar-gambar atau patung-patung tuhan yang mungkin merupakan lambang  berbagai suku yang datang ke Ka’bah ini pada bulan tertentu.[1] Mereka meletakan berhala di sekitar Ka’bah untuk disembah dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada Masa itu, secara resmi Ka’bah didedikasikan pada tuhan Hubal, tuhan yang dibahwa ke Arab dari kerajaan Nabatean yang sekarang disebut Yordania. Orang jahiliyah kuno selalu mengelilingi Baitullah setiap saat. Mereka melaksanakan ritual thowaf dengan ‘uryan (telanjang).[2] Ini, sisi negatif yang dilakukan jahilyah kuno terhadap rumah Allah sebelum Islam menyinari mereka.
Bani Hasyim (Abdul Muththalib bin Hasyim) –yang juga kakek Nabi- mendapat amanah menjadi pelayan Baitullah. Setiap musim haji tiba, mereka mempunyai tugas mulia dengan sebutan siqayatal hajj (mengambil air dari tempat yang jauh dan kemudian dibagikan kepada tamu-tamu Baitullah). Hal ini dilakukan karena di Makkah sangat kering dan tandus serta sulit untuk mendapatkan air. Mereka juga menyediakan makanan-makanan bagi jama’ah haji, bahkan Hasyim pernah mengatakan, “Wahai kaum Quraisy! Kalian semua tetangga Tuhan, penjaga rumah-Nya dan tanah suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung rumah-Nya. Mereka itulah tamu yang patut dihormati. Pada musim haji sediakan makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali. Bila harta saya sendiri mencukupi, saya tidak akan membebani kalian semua.”[3] Ini Kebiasaan positif orang Jahiliyah kuno sebelum kelahiran Nabi yang biasa dilakukan oleh Hasyim  sebelum Islam.
Pada masa Abdul Muththalib ada istilah ar-Rifadah yang artinya memberikan makan terhadap jama’ah haji yang datang dari segenap penjuru dunia kala itu.[4] Kadangkala mereka memasak sendiri kemudian dibagikan. Hal ini juga dilakukan terhadap binatang-binatang yang berada di sekitar Baitullah.
Tidak terhitung jumlah makanan dan minuman serta harta yang mereka korbankan demi melayani jama’ah haji kala itu. Dan itu dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apapun, dalam istilah arab disebut dengan “Hidmatu al-Hujjaj Sarofun Lana” artinya melayani jama’ah haji adalah kemulyaan bagi kami.
Orang Quraisy Makkah juga mengenal istilah Hilfu al-Fudhul. Orang yang pertama kali berbicara tengtang Hilfu Fudul adalah al-Zubair Ibnu Abdul Muttolib.[5] Ini juga salah satu kebaikan ahli Makkah yang dipuji Rasulullah sampai sekarang ini. ‘Asbabul wurud’ dari Hilfu al-Fudhul ini berasal dari seorang laki-laki dari Zabidi Yaman yang membawa barang-barang dagangan. Ternyata al-’Ash bin Wail As-Suhami mengikutinya dan membeli dagangan tersebut, namun tidak mau membayarnya.
Kejadian ini membuat Zabidi ketakukan dan akhirnya melaporkan kepada kaum Ahlaf (mereka adalah Bani Abdu Dar dan Makhzum). Maka, al-Zubair bin Abdul Muththalib (paman Nabi) turun tangan dan bertindak tegas. Beliau mengumpulkan Bani Hasyim, Zuhrah, Asad dan Tamim di rumah Abdullah bin Jud’an untuk saling bersumpah dan memengang janji untuk tidak  saling berbuat dzolim terhadap penduduk Makkah serta semua semua manusia.[6] Lalu mereka memasak makanan untuk Zabidi dan menolongnya dari al-’Ash. Mereka menjadi kafil (pelindung bagi al-mazhlum, atau orang yang terzhalimi) dan mengambil paksa haknya.
Kisah ahli Ahlafu al-Fudhul beraneka ragam. Yang dipuji Nabi ini adalah sikap gentle dalam membatu orang-oarng yang didzolimi. Kebiasaan Ahlafu al-Fudhul ini berlangsung sampai zaman al-Husain bin Ali beserta al-Walid bin ‘Utbah.
Kebiasaan ahli Makkah lainnya adalah al-Wafa’ dan al-Amanah, yaitu menjaga rahasia orang dan tidak berkhianat. Sifat ini adalah kebiasaan ahli Makkah yang sampai saat ini masih eksis, walaupun umat Islam modern saat ini jarang sekali yang menjalankannya. Dua sifat di atas juga menjadi pondasi kuat bagi para sahabat Nabi SAW. di atas keimanan dan ketaqwaan dalam memperjuangkan agama Allah. Selain dua sifat ini masih banyak lagi sifat-sifat luhur yang dimiliki kaum Quraisy Makkah sebelum terutusnya Nabi Muhammad SAW.
Setelah hadirnya Rasullah SAW., sifat-sifat di atas sudah tertanam kuat di dasar hati, sehingga risalah Islamiyah yang beliau bawa menjadikan kaum Quraisy sebagai pemeluk Islam yang militan dan ditakuti musuh. Mereka betul-betul loyal terhadap Nabi, sehingga semua perintah Allah dan Nabi betul-betul ditaati.
Dalam menjalankan perintah, seperti shalat berjama’ah di Baitullah di tengah-tengah ancaman dan berhala-berhala yang mengitari Ka’bah. Mereka tidak merasa takut, karena keberanianya sudah tertanam kuat dalam diri mereka. Sedikit demi sedikit mereka menampakan da’wahnya. Berhala-berhala sesembahan orang Quraisy pun lama-kelamaan terkikis habis.
[1] .Karen Armstrong.2001.Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (Risalah Gusti-Surabaya) hlm 65.
[2] . Jamiul Bayan an Ta’wili au al-Qur’an, Ibnu Jarir al-Tobari, 5/323
[3] . Martin Lings.2007. Rosulullah Muhammad (PT Serambi Ilmu Semesta). hlm 19
[4] . Ibnu Katsir, Bidayah Wa al-Nihayah, 2/298.
[5] . Ibnu Katsir. Bidayah Wa al-Nihayah – (Maktabah al-Maarif- Beirut) hlm 2/291
[6] . Ibnu Atsir. Al-Kamil Fi Tarikh, (Darul Kutub Ilmiyah- Beirut) hlm 1/570

Leave a Reply