Skip to main content

Liburan Halal ke Negeri Sakura (Edisi 2)

Loyalitas Anjing kepada Tuannya

“Assalamu’alaikum, PAGI!! Semangat! Alhamdulillah kami sekeluarga sedang menikmati menu sarapan ala jepang dengan sayuran sehat dan teh” sapa bapak Edi dari Surabaya dalam group WhatsApp yang saya buat.

Sudah dua minggu semenjak saya dan rombongan peserta Tour Japan ESQ Halal Holidays tiba di Indonesia, sampai hari ini saya masih bersilahturahim dan menyapa para peserta.
“Alhamdulillah sudah seperti saudara dan keluarga sendiri ya mba suci” sapa ibu Wieke dan ibu Nunuk.

Seperti yang di ceritakan pada artikel sebelumnya (Edisi 12 / Thn II / Agustus 2015), saya banyak sekali merenung. Entah apa saja yang saya renungkan namun banyak sekali yang dapat saya dapat ambil pelajaran dari negeri penghasil teh hijau ini. Selama tujuh hari perjalanan, hari pertama kami tiba di Haneda International Airport Tokyo yang merupakan bandara yang terdekat dari Tokyo setelah Narita. Haneda airport pada mulanya adalah bandara domestik yang kemudian di fungsikan sebagai bandara Internasional. Sesaat melihat bandara ini, sayapun melihat beberapa arsitektur bangunan yang mengadopsi dari arsitektur kuil Shinto – Buddha untuk menularkan semangat tradisional Edo. Di pintu keberangkatan Anda juga akan disuguhkan suasana seperti yang nampak di film Naruto. Yah, betul suasana restoran yang sengaja di design secara tradisional, beberapa penumpang juga nampaknya asyik sekali menikmati santapan ramen sambil menunggi waktu boarding. “aaahhh

Atsuidesu !!!” artinya (panas !!) kata driver kami Segiguchi-san sambil bercanda dan menyapa ramah seluruh peserta kami.

Memang saat itu Jepang sedang memasuki musim panas. Matahari terik menyinari sesaat setelah kami keluar dari bandara. Beberapa peserta yang masih mengenakan jaket, buru – buru menanggalkan jaketnya dan memakai sun glasses. Setelah memasuki bus saya langsung membagikan air mineral dingin dari box mini freezer. Saya pun memperkenalkan diri, driver dan local guide kami Mas Arif yang kebetulan orang Surabaya namun fasih berbahasa Jepang. Sebelum dimulai oleh Local Guide untuk bercerita saya bercerita mengenai Jepang secara keseluruhan serta bercerita mengenai Anjing Hachiko, yaitu anjing yang setia kepada tuannya hingga akhir hayatnya. Di pertengahan cerita ada celetukan dari salah satu peserta

 “mba Suci nanti kita kesana ga ? mau dong foto – foto di depan patung Hachiko” celetuk ibu Is

Dari sana saya berfikir, karena patung Hachiko terletak didaerah Shibuya dan macet sekali. Akhirnya saya dan mas Arif pun berunding dengan driver Segiguchi- san apakah memungkinkan kita visit shibuya station untuk photo stop. Dan setelah berunding beberapa menit, kami pun sepakat mampir ke staisun Shibuya namun kami harus bertolak dari Tokyo Disney sea pukul 05.30 PM.

“Teikoku! (tepat waktu ya )” tegas Segiguchi-san

Mendengar apa yang beliau katakan, yah benar saya sudah ada di negeri Samurai. Everything was well organized and on time jadi saya harus berani mengatakan kepada peserta agar tepat waktu. Namun berhubung driver sudah paham dengan karakter orang Indonesia yang di kenal ngaret alias “jam karet” terkadang toleransi terlambat 5 – 10 menit pun diberikan, tapi saya sebagai Tour Leader sudah dapat peringatan dari driver nya… hahahahha. Oke, oleh sebab itu saya pun set waktu berkumpul di meeting point setengah jam lebih awal yaitu pukul 05.00 PM, dikarenakan jarak dari pintu masuk wahana Tokyo Disney Sea menuju parkiran harus berjalan kaki kurang lebih 5 – 8 menit. Bersyukur Bapak Segiguchi sangat baik, karena bersedia menjemput kami dekat dengan pintu masuk.

Sesampainya di Shibuya Area, para peserta Amazed sekali dengan jalanan “cross path” Shibuya, dimana merupakan banyak sekali orang berlalu lalang menyebrang jalan jika tanda lampu hijau untuk pedestrian menyala. Shibuya merupakan crossing path yang paling sibuk di Jepang, ratusan orang menyebrangi jalan dengan tertib dan teratur. Tak heran jika beberapa peserta banyak yang berhenti mengabadikan moment sambil foto – foto di tengah fenomena tersebut. Saya pun mengeluarkan bendera dan memanjangkan tiang setinggi – tinggi nya agar peserta tetap dapat mengikuti petunjuk menuju stasiun Shibuya, tempat patung Hachiko di tempatkan.

“yeay PATUNG HACHIKO, sini mbak Suci tak fotoin!!” sorak Salsabilah seorang peserta dari Surabaya, dengan logat Jawa nya yang kental tanpa ragu – ragu langsung menawarkan saya untuk foto – foto.

Sangat bahagia rasanya berhasil membawa peserta untuk menjadi saksi dari kesetiaan seekor Anjing kepada Tuannya. Hachiko kembali menjadi bahan renungan saya, saya pun berfikir dan tersentak saat itu membayangkan betapa setianya Anjing ini kepada tuannya.

Dan perumpamaan – perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang – orang yang berilmu QS. Ar Rum (30) : 58

Kisah ini memang sangat inspiratif bagi masyarakat Jepang pada khususnya. Kisah kesetiaannya dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat Jepang judulnya adalah on o wasureruna artinya “balas budi jangan dilupakan”. Hachiko lahir di Odate, Jepang 10 November 1923. Hachi (nama kecil Hachiko) dipungut oleh seorang professor bernama Ueno sejak berumur 2 bulan. Profesor Ueno (53 tahun) yang memelihara Hachi mengajar ilmu pertanian di Universitan Kekaisaran Tokyo. Ia tinggal bersama istrinya yang bernama Yae (39 tahun). Hachi mengisi hari – hari Sang professor yang memang pecinta anjing.

Rumah keluarga Ueno berdekatan dengan Stasiun Shibuya, setiap hari saat Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang, terkadang sampai stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput. Hal itu berlangsung setiap hari hinggal 21 may 1925, Hachi tak pernah lagi bertemu tuannya. Profesor Ueno mendadak meninggal dunia terkena serangan stroke seusai mengikuti rapat di kampus. Hachi terus menunggu di stasiun Shibuya yang tak kunjung pulang, dan ia tidak mau makan selama tiga hari. Hachi masih tidak mengerti bahwa prfesor Ueno sudah meninggal, ia tetap pergi ke staisun untuk menjemput majikannya.

Sepeninggal professor Ueno, Hachi pun beberapa berganti tuan. Nasib malang menimpa Hachi tidak satupun diantara mereka yang menyayangi Hachi layaknya Ueno. Akhirnya pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kukusaburo Kobayashi tukang kebun yang pernah bekerja dengan keluarga Ueno. Rumah Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang juga berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Di situ, setiap sore hari waktu kepulangan professor Ueno, Hachi terlihat menunggu di Staisun Shibuya hingga akhir hayatnya.

Saito seorang dari Asosiasi Pelestarian Anjing merasa terpanggil untuk menulis kisah Hachi di Harian Tokyo Asashi Shimbun yang berjudul “itoshiya Roken Monogatari” atau “Kisah Anjing Tua yang Setia”. Sejak saat itulah masyarakat Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Oleh sebab itu nama Hachi ditambahkan Hachi-ko (ko adalah panggilan sayang) yang diberikan oleh orang – orang sekitar stasiun Shibuya yang menyayanginya.
Pada 8 Maret 1935 pukul 06.00 pagi, hachiko ditemukan tewas dekat jembatan Inari, Sungai Shibuya. Sejak saat itulah Hachiko. Hachiko pun tidak tampak lagi di stasiun Shibuya. Saat meninggal ia berumur 13 tahun setelah hampir 10 tahun senantiasa menjemput sang tuan. Patung perunggu Hachiko pun dibuat dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya pada April 1934. Upacara peresmian diadakan yang disaksikan sendiri oleh Hachiko yang pada waktu itu senantiasa datang ke stasiun Shibuya. Patung Hachiko sendiri telah menjadi salah satu marka tanah di Shibuya. Saat membuat janji untuk bertemu di Shibuya, orang sering berjanji bertemu di depan patung Hachiko. (suci)

wisata-halal-ke-jepang-esq-halal-holidays-

Leave a Reply