Diawali dengan niat menyempurnakan rukun islam sekaligus mencari jawab atas realisasi teori yang ia urai—untuk bukunya yang berjudul Emosional Spiritual Quotien (ESQ)—Ary Ginanjar Agustian memutuskan untuk berangkat haji pertama kalinya pada 2001.
Bekal fisik, finansial dan intelektual dipersiapkannya sejak jauh-jauh hari. Ia pun ingin mengaplikasikan konsep ESQ yang digagas pada 1999, terutama soal haji, sebagai puncak rukun Islam yang dalam rangkaian ritualnya sarat pesan spiritual. Persiapan itu dilakukan, sebab ia tak ingin menyerah hanya sekadar mengikuti ibadah ritual.
“Saya tidak ingin seperti orang yang ingin berangkat kerja pakai dasi dan topi saja, tapi lupa pakai baju dan celana,” kata dia.
Maksud dia, berangkat haji pada hakikatnya merupakan upaya memenuhi undangan Allah yang tak boleh disia-siakan. Pria kelahiran Bandung, 24 Maret 1965 ini tak ingin menjadi “Haji Budaya” di mana niat berangkat haji secara sengaja atau tidak, ditujukan untuk memperoleh gelar haji di masyarakat, lantas merasa memeroleh kehormatan yang tinggi di kampung halaman.
Kebanyakan orang, kata dia, hanya mengikuti ritualnya saja dan tidak menangkap pesan di balik ritual haji. Maka, secara tegas, ia tidak ingin menjadi orang kebanyakan itu.
Ia pun berpikir keras untuk mencari makna setiap ritual ibadah haji. Rentetan pertanyaan dan penegasan berputar-putar sepanjang perjalanan haji. ia ingin merasakan makna ihram, wukuf, lontar jumroh, sai dan tawaf. “Mengapa ketetapannya seperti itu, mengapa pula urutannya ditetapkan begitu?” pikirnya kala itu.
Dalam fase mencari jawab, ia mendapatkan pengalaman tak terlupakan dan menjadi titik perubahan 180 derajat. Ketika itu malam tahajud, pendiri ESQ Leadership Center ini pun berangkat dalam sepinya malam untuk beribadah di Multazam, suatu bagian dari Kabah yang terletak di antara pintu kabah dan hajar aswad.
Setelah melakukan shalat tahajud, ia pun berdoa,“Ya Allah, tunjukkanlah sesuatu agar aku yakin padamu,” begitu ia berdoa. Lantas, segera setelah doa itu diucap, lehernya tiba-tiba terasa tercekik.
Nafasnya habis sehingga ketika itu, ia merasa seperti sakaratul maut. Di antara nafas yang tersisa, ia pun bersujud memohon ampunan.
Sumber : republika.co.id